Skandal Sepatu Emas Eropa usai Intervensi Pemimpin Komunis Erling Haaland menunjukkan ketajaman pada musim debut bersama Manchester City. Torehan pemain asal Norwegia tersebut sepanjang 2022/2023 pun berbuah sejumlah rekor.
Yang utama adalah keberhasilannya mencetak 36 gol di Liga Inggris. Angka itu membuatnya melampaui capaian Alan Shearer dan Andy Cole untuk jadi sosok dengan jumlah terbanyak dalam semusim. Hebatnya lagi, Haaland membukukan itu hanya dalam 35 penampilan.
Ketajaman Haaland mendapat pengakuan dari berbagai pihak. Dia membawa pulang gelar pemain terbaik versi Asosiasi Pesepak Bola Inggris dan Asosiasi Jurnalis Sepak Bola Inggris.
Dengan jumlah tersebut, Haaland juga hampir pasti membawa pulang Sepatu Emas Eropa. Memiliki nilai koefisien 72, dia jauh meninggalkan pesaing terdekat yang kompetisinya belum selesai yakni Kylian Mbappe (56).
Sepatu Emas Eropa memang jadi penghargaan utama bagi para penyerang kelas dunia. Sejumlah nama-nama besar pernah merebutnya.
Eusebio, Gerd Muller, Thierry Henry, Robert Lewandowski, Cristiano Ronaldo, hingga Lionel Messi adalah beberapa sosok yang mengoleksi trofi tersebut.
Termasuk pula Rodion Camataru, meski cuma sebatas replika.
Camataru tampil ganas bersama Dinamo Bucharest pada 1986/1987. Dia membukukan 44 gol di Liga Rumania. Angka tersebut sangat spektakuler karena Camataru mendapatkannya hanya dalam 33 pertandingan.
Sebagai catatan, kala itu pemberian Sepatu Emas Eropa murni berdasar ketajaman. Sistem berubah sejak 1996/1997 ketika jumlah gol pemain di kalkulasi dengan tingkat kesulitan kompetisi yang diikuti.
Sayang Camataru tidak bisa berbangga lama. Gelarnya di copot tidak lama berselang. FIFA melakukan intervensi usai menyelidiki performa Camataru yang mencurigakan.
Bagaimana tidak, dia membuat 26 gol dari sembilan pertandingan terakhir yang di ikuti.
Selidik punya selidik, produktivitas Camataru terjadi berkat andil Nicolae Ceausescu, pemimpin komunis terakhir Rumania.
Mengetahui ada kans merebut Sepatu Emas Eropa, dan prestise yang datang dari penghargaan tersebut, dia ‘memerintahkan’ pemain lawan agar tidak berusaha keras menghentikan Camataru.
Gelar Camataru akhirnya di copot, meski yang bersangkutan di izinkan menyimpan trofi replika. Sementara gelar sesungguhnya jadi milik bomber legendaris Austria Toni Polster.
Dia membuat 39 gol untuk Austria Vienna pada musim tersebut.
BACA JUGA : Mason Mount Siap Berseragam Man United, Kesepakatan Pribadi Sudah Tercapai
BACA JUGA : Karim Benzema Pindah ke Liga Arab Saudi, Real Madrid Incar Harry Kane dan Richarlison Sekaligus